Skip to main content
Artikel

Budayakan Literasi kepada Anak, Bukan Gawai

Dibaca: 85 Oleh 30 Jan 2020November 22nd, 2020Tidak ada komentar
Budayakan Literasi kepada Anak, Bukan Gawai
#BNN #StopNarkoba #CegahNarkoba

Perkembangan teknologi digital dalam beberapa tahun terakhir begitu memengaruhi pola kehidupan manusia. Kehadiran gawai atau lebih dikenal dengan sebutan gadget beserta segala macam peranti canggih yang tertanam di dalamnya membawa manusia masuk ke peradaban baru.

Di satu sisi, dampak positif gawai memang luar biasa. Ga

wai adalah dunia kecil yang bisa membawa seseorang ke pintu mana saja. Informasi apapun yang dibutuhkan dengan mudah bisa dicari dengan bantuan mesin pencarian seperti Google.

Namun di sisi lain, pengguna gawai terutama anak-anak belum memiliki kesadaran berpikir mengenai baik-buruknya. Mereka tidak memakainya untuk menggali ilmu pengetahuan yang bermanfaat melainkan sekadar kesenangan belaka bahkan untuk hal-hal negatif seperti pornografi. Celakanya mereka jadi ketagihan layaknya kecanduan narkoba.

Masalah timbul ketika si anak sudah mulai kerajingan. Tanpa memandang waktu dan tempat ia selalu meminta gawai kepada orang tuanya. Jika tidak diberi maka si anak akan terus merengek bahkan menangis meraung-raung.

Sebagian besar orang tua justru tidak tega melihat anaknya terus-menerus menangis. Hatinya luluh dan menyerahkan gawainya kepada si anak. Tanpa disadari, si anak tumbuh menjadi pribadi apatis, manja dan keras kepala. Akhirnya orang tua tak bisa lagi mengendalikan kelakuan si anak. Mereka hanya bisa mengeluh tanpa bisa menyelesaikan akar permasalahannya.

Kehadiran gawai memang telah mengubah kebiasaan kalangan anak-anak. Anak-anak zaman dahulu yang belum mengenal gawai mengisi hari-harinya dengan bermain di luar rumah atau juga membaca buku cerita. Anak zaman dulu harus dipaksa agar mau pulang ke rumah, sebaliknya anak ‘zaman now’ bersikeras tidak mau ke luar rumah karena sibuk dengan gawainya.

Masa tumbuh-kembang anak memang sebaiknya perlu diisi dengan edukasi sebagai modal masa depan. Menurut psikolog anak Desni Yuniarni, 80% otak anak berkembang pada periode yang disebut dengan golden age, atau masa-masa keemasan yaitu usia nol hingga lima tahun. Pada masa-masa tersebut, peran orangtua sangat dibutuhkan dalam mengawasi tumbuh dan berkembangnya otak anak. (Kompas.com,20/12/2018)

Idealnya pada fase ini orang tua fokus menempa karakter si anak dengan metode terbaik. Salah satu pilihannya adalah menjauhkan anak dari terpaan gawai semaksimal mungkin. Tanpa berinteraksi dengan gawai pun tumbuh-kembang mereka tidak akan terganggu.

Mereka tidak akan tertinggal dibandingkan dengan anak-anak lain. Kemungkinan buruknya memang bisa muncul perundungan atau pengucilan dari teman-teman sebayanya karena dianggap tidak bisa beradaptasi. Namun jika mental si anak kuat, ia akan mampu menghadapinya.

Pola Asuh

Detik demi detik kebersamaan orang tua dan anak adalah proses pembelajaran yang berkelanjutan. Orang tua berperan sebagai kreator yang membentuk kepribadian anak. Pada tahap itu si anak seperti kertas kosong yang belum ada coretan apapun di atasnya.

Skenario orang tua tentu saja menginginkan anaknya kelak menjadi sosok yang bisa dibanggakan. Untuk mencapai hal itu butuh proses panjang dan intervensi berkelanjutan. Kepribadian anak tak terbentuk begitu saja dengan sendirinya secara alamiah. Tentunya didikan orang tua juga memiliki pengaruh sangat kuat.

Menurut Baumrind dalam Shaffer (2008), ada empat jenis pola asuh. Pertama, pola asuh otoriter yakni orang tua mendominasi dan memiliki kontrol yang besar pada anak. Kedua, pola asuh permisif dimana ciri utamanya adalah orang tua menunjukkan sikap permisif atau serba boleh dan tidak banyak menuntut. Ketiga,  pola asuh abai yaitu orang tua tidak banyak berperan dalam mengasuh anak. Keempat, pola asuh otoritatif dimana orang tua menganggap penting alasan di balik sikap atau perilaku anak sehingga mereka bersikap demokratis.

Pola asuh otoritatif merupakan pola asuh yang paling tepat untuk digunakan orang tua. Pola asuh ini memberi pengaruh pada kebiasaan membaca anak karena orang tua tidak memaksakan kehendaknya kepada anak. Orang tua justru mendorong anak untuk melakukan suatu hal yang diharapkan dengan memberi pertimbangan yang rasional. Dengan penerapan pola asuh otoritatif ini orang tua dapat menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini pada anak

Praktik literasi sudah perlu mulai ditanamkan kepada anak ketika dia sudah mulai mengekspresikan bahasa. Hal itu berguna untuk membangun imajinasi dan kreativitas mereka. Dengan begitu, wawasan anak menjadi terbuka terhadap sesuatu yang baru.

Literasi sejak dini akan membantu anak berpikir kritis dan logis dalam menyikapi informasi. Apalagi pada era sekarang ini sebaran informasi yang begitu liar ditambah maraknya semburan berita hoax. Mereka jadi lebih terlatih untuk memilah-milah mana informasi benar-salah dan bermanfaat-tidak penting.

Proses pendidikan literasi kepada anak tak selalu harus melalui lembaga pendidikan. Orang tua bisa mengemasnya ke dalam aktivitas sehari-hari layaknya mereka sedang bermain. Untuk anak pra-sekolah misalnya, salah satu pengenalan literasi yang bisa dilakukan adalah dengan membacakan dongeng.

Mendongeng tak sekadar membacakan sebuah alur cerita, juga membangun relasi keintiman antara orang tua dengan anak. Setidaknya ada enam manfaat mendongeng bagi tumbuh-kembang anak. Manfaat itu antara lain untuk perkembangan kognitif, perkembangan sosial dan emosional, mempererat ikatan anak dan orang tua, mengembangkan daya imajinasi, meningkatkan keterampilan berbahasa dan meningkatkan minat baca. (Kompas.com, 17/06/2018)

Dongeng merangsang imajinasi anak untuk berpikir kreatif. Kita tidak akan pernah bisa membatasi imajinasi mereka. Jika bisa dikelola dan diarahkan dengan baik tentunya hal ini akan menjadi modal yang luar biasa bagi si anak kelak.

(Video di bawah ini adalah contoh dongeng menggunakan wayang kertas.)

Pengenalan literasi lainnya yang efektif kepada anak adalah dengan acara orang tua berperan sebagai role model. Umumnya anak menganggap orang tua sebagai idolanya. Dalam konteks literasi, anak akan meniru apa yang dilakukan orang tuanya baik itu perilaku baik ataupun buruk. Kebiasaan orang tua, baik bapak maupun ibu yang rajin membaca tentu akan menjadi perhatian si anak. Ketertarikan mereka akan muncul ketika melihat orang tuanya sangat enjoy saat membaca buku.

Meski belum terlalu paham apa yang dibacanya namun minat si anak bakal muncul perlahan. Suasana di rumah akan menjadi sangat menyenangkan bila hal itu bisa dicapai. Hal itu juga sekaligus mencegah anak terlibat perbagulan tidak sehat di luar rumah. Apalagi jika di dalam keluarga ada lagi figur lain seperti kakak yang juga gemar membaca. Otomatis minat si anak untuk ingin tahu lebih jauh akan semakin menggebu.

Belajar Sosial

Dalam tataran yang lebih luas, dukungan masyarakat juga memiliki pengaruh yang besar untuk mengembangkan minat literasi anak. Misi para orang tua ini tak akan berjalan dengan baik jika kondisi lingkungannya tidak mendukung.

Menurut teori belajar sosial Bandura (1977), manusia mempelajari sesuatu dengan cara meniru perilaku orang lain. Teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan. Seserang belajar melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari perilaku tersebut.

Jika mereka tumbuh di lingkungan yang rawan kriminalitas maka mereka berpotensi tumbuh menjadi anak yang berperangai keras. Bahkan ada kecenderungan juga mereka jadi ikut-ikutan dengan pola pergaulan anak di sekitarnya.

Begitu juga dalam kultur masyarakat yang angka putus sekolahnya cukup tinggi, motivasi anak di daerah itu untuk bersekolah sangat rendah. Motivasi mereka rendah karena tak ada panutan yang memberikan contoh positif.

Lain halnya dengan suatu lingkungan yang suasananya nyaman untuk belajar anak. Dalam lingkungan seperti itu motivasi anak untuk belajar cenderung tinggi bahkan bermunculan kelompok-kelompok belajar bersama.

Di sinilah peran penting masyarakat dalam membudayakan literasi. Aparatur desa dan tokoh masyarakat bisa membuat inisiatif untuk perubahan. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan, baik secara formal maupun non formal.

Secara formal misalnya adalah dukungan pemerintah desa melalui penyusunan kebijakan tentang jam belajar masyarakat. Pemberlakuan jam belajar akan memberikan edukasi kepada anak-anak tentang nilai-nilai kedisiplinan. Saat jam belajar mereka tidak diperbolehkan lagi berkeliaran di luar rumah yang berpotensi menimbulkan ekses negatif.

Cara lainnya adalah melalui pembuatan kebijakan anggaran Taman Bacaan Anak atau perpustakaan. Sumber anggarannya bisa menggunakan dana desa yang saat ini sedang digencarkan pemerintah. Tak sekadar menyediakan materi buku, juga perlu dibuat klasifikasi buku menurut tingkatan umur anak.

Tidak kalah penting, konsep perpustakaan atau taman bacaan tidak dibuat monoton ataupun hanya mengikuti selera orang dewasa. Untuk itu perpustakaan sebaiknya tidak dibuat sunyi seperti kuburan. Hal itu tidak akan menarik perhatian anak-anak. Tempat tersebut harus menjadi spot belajar dan bermain dengan warna-warni ceria.

Adapun literasi secara non formal bisa dilakukan dengan kearifan lokal yang berlaku di suatu daerah. Salah satu upaya suportif yang bisa diterapkan dalam suatu lingkungan masyarakat adalah memberikan reward kepada anak-anak yang berprestasi.

Ada banyak momentum yang bisa diambil dalam menumbuhkan jiwa kompetitif di kalangan anak-anak. Perayaan hari besar kenegaraan atau keagamaan misalnya, bisa dimeriahkan dengan lomba baca puisi, pidato ataupun lomba karya tulis.

Di sisi lain perlu juga diterapkan sanksi sosial kepada orang tua yang anaknya terlibat dalam kriminalitas maupun penyimpangan-penyimpangan di masyarakat. Sanksi sosial itu akan menjadi warning bagi anak-anak lainnya untuk tidak melakukan sesuatu yang buruk di masyarakat.

Pendidikan literasi memberikan pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada prestasi akademik anak. Pola komunikasi dan adaptasinya akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang lain. Mereka memiliki kemampuan memecahkan masalah-masalah logis.

Hanya saja, kendala utama memperkenalkan literasi sejak dini kepada anak adalah tak semua orang tua paham manfaatnya. Sebagian di antaranya justru tidak memiliki waktu khusus untuk hal itu.

Akhirnya, semua kembali kepada kemauan orang tua untuk membentuk karakter dan mengarahkan si anak. Jika hanya pasrah dan ikut-ikutan tenggelam oleh dampak buruk penggunaan teknologi, si anak akan terkena imbasnya di kemudian hari.

Sebaliknya jika orang tua peduli dengan tumbuh-kembang anak sejak dini, mereka bisa membentuknya secara terencana. Untuk itu semua orang tua harus memberi contoh model literasi yang baik kepada anak-anaknya dengan pola asuh yang tepat.

 

Kirim Tanggapan

made with passion and dedication by Vicky Ezra Imanuel